JALUR LURUS
Jadikan Hari Esok Lebih Baik
Feed on
Tulisan
Komentar
“Fasisme” dalam Dunia Pendidikan
24 Oktober 2007 oleh Sawali Tuhusetya
Secara jujur harus diakui, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terjebak dalam suasana “fasis”, terpasung dalam cengkeraman rezim penguasa yang otoriter, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi serta daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, religi, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spiritual. Akibatnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan nurani menjadi nihil.
Mereka menjadi “robot-robot” zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri. Tidak mengherankan jika sendi-sendi kehidupan negeri ini mudah digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarki, destruktif, bahkan mudah terkontaminasi oleh “virus” disintegrasi.
Dalam praktek pembelajaran di kelas, peserta didik –meminjam istilah YB Mangun Wijaya dalam buku Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein (1999)– tidak diajar untuk berpikir eksploratif dan kreatif, tetapi di-drill dan dibekuk agar menjadi penurut. Siswa yang baik telah dicitrakan sebaga “anak mami” yang serba sendika dhawuh dan pendiam. Imbasnya, cakrawala berpikir siswa menyempit dan mengarah pada sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun, perompak, penggusur yang menghambat kemajuan bangsa.
Erat hubungannya dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah makin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang. Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal-budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, seakan telah menjadi fenomena sosial yang mewabah dalam pranata kehidupan masyarakat kita.
Idealnya, dunia pendidikan harus mampu memberikan proses pencerahan dan katharsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu menghilangkan sikap-sikap “fasis” sekaligus mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapai masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan spiritual yang ditimbanya, mereka diharapkan menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita sangat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian yang menawarkan pengampunan jika terjadi penghinaan.
Kecerdasan spiritual mewujud dalam perilaku hidup yang diliputi kesadaran penuh, perilaku yang berpedomankan hati nurani, penampilan yang genuine tanpa kepalsuan, kepedulian besar akan tegaknya etika sosial. Sebaliknya, ketidakcerdasan spiritual mewujud dalam perilaku keagamaan yang monolistis, eksklusif, dan intoleran yang meninggalkan jejaknya pada korban konflik kekerasan berbau SARA, seperti yang belakangan ini sering kita saksikan.
Situasi sosial yang sarat dengan perilaku anomali dan ulah tak terpuji, mau atau tidak, harus menjadi bahan renungan bagi kita semua. Sebagai basis dan pusat pembentukan nilai, institusi pendidikan (baca: sekolah) harus mampu mengembalikan fungsinya sebagai pencerah peradaban, mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.
Pendidikan budi pekerti, meskipun tidak tersurat dalam kurikulum harus dihidupkan kembali di sekolah oleh para guru lintas mata pelajaran. Artinya, penanaman nilai budi pekerti tidak semata-mata menjadi tugas guru PPKn atau Pendidikan Agama saja, tetapi secara integratif perlu dijadikan bahan kajian yang tak terpisahkan dalam setiap mata pelajaran.
Kajian nilai budi pekerti, tidak sekadar disampaikan dalam bentuk teori, hafalan, atau “khotbah”, tetapi harus benar-benar menyentuh kedalaman dan hakikat emosional-spiritual yang mampu membuka ruang kesadaran nurani siswa di tengah konteks kehidupan sosial-budaya yang majemuk.
Yang tidak kalah penting, guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan, hendaknya mampu menjadi figur teladan dan anutan di depan para peserta didik. Guru dituntut untuk memiliki sikap demokratis, lebih mawas diri, sehingga secara tidak langsung akan menular ke dalam jiwa dan kepribadian peserta didik.
Di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang masih silang-sengkerut akibat konflik dan krisis multidimensi, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katharsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar- benar dimaknai secara substansial sebagai “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan “paripurna”, cerdas emosionalnya sekaligus cerdas spiri
Jalan Berliku Pendidikan Nasional
Pemimpin negara kita saat ini adalah produk sistem pendidikan nasional kita. Apakah pertanyaan ini menjadi suatu yang logis, jika ada pernyataan bahwa pemimpin bangsa kita saat ini adalah hasil pendidikan bangsa kita saat ini. Apakah ini suatu hal yang mantiqy?
Andai kata pertanyaan ini dijawab dengan jawaban "logis" pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita sudah puas dengan kepemimpinan Presiden selama ini, kalau seandainya jawabannya puas, ya kita biarkan saja negeri kita seperti sekarang ini. Kalau jawaban anda tidak puas, maka kita harus mengubah dengan sekuat tenaga pada sistem pendidikan kita.
Telah disebutkan oleh beberapa pakar pendidikan, bahwa paling tidak sistem pendidikan harusnya mencakup tiga hal: Heart (hati), Head (kepala-otak), Hand (tangan). Tangan digunakan untuk keterampilan, selama ini kita mengadopsi sistem pendidikan barat, maka hasilnya sama dengan mereka, artinya tidak jauh dari kemajuan yang dicapai mereka. Secara continuous (terus menerus) fokus pendidikan kita hanyalah pada otak saja, akan tetapi mengabaikan unsur jiwa/hati sama sekali. Akibatnya di negara kita ini banyak sekali professor yang tercecer, karena terlalu banyak. Padahal di zaman dahulu seorang Insinyur hanya dimiliki oleh Presiden Sukarno, dan orang yang bergelar doktorandus hanya Moh. Hatta. Berbeda dengan sekarang keberadaan mereka membludak karena terlalu banyak.
Fenomena sekarang ini banyak orang pinter tercecer, tetapi karena hatinya tidak dididik, akibatnya seperti yang kemarin-kemarin (korupsi terjadi di berbagai kalangan). Hal ini menjadi suatu yang logis, dikarenakan tidak ada keutuhan (antara unsur lahiriyah dan batiniyah) yang terjalin dalam proses pendidikan di Indonesia.Satu contoh kecil minimal dalam 17 Agustus kita menyanyikan lagu kebangsaan Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya..............., kalau seandainya lirik itu dirubah menjadi bangunlah Badannya kemudian baru bangunlah Jiwanya, maka tidak akan terjadi perubahan nada yang berarti. (artinya Dalam rangka mendidik badan/otak itu harusnya didahulukan, karena keberadaan otak sangat penting untuk memilah antara baik dan buruk, sedangkan mendidik jiwa adalah hal terpenting setelah pendidikan otak, karena dimensi jiwa itu mencakup keseluruhan anggota badan (seperti dalam hadits: idza sholuha sholuha jasadu kulluha).
Akan tetapi realitasnya pendidikan yang terjadi hanya memfokuskan pada badan/fisik saja, sampai-sampai pemimpin diatas itu perutnya besar-besar (kelakar beliau). Jadi kesimpulannya semua hal yang berhubungan dengan badan dan raga itu mendapat prioritas tersendiri di dalam pendidikan di negara kita. Contoh yang mudah seperti keberadaan olah raga dari mulai bulu tangkis sampai sepak bola itu, yang menjadi pembina adalah para jendral, sampai pada suatu saat pembina bulu tangkis itu adalah wakil presiden. Pertanyaan yang cukup mendasar, siapa yang selama ini ditugaskan sebagai pembina jiwa? Apakah MUI (Majelis Ulama Indonesia, sambil bergurau menyindir para pemangku MUI), yang disibukkan oleh proses labelisasi halal, pada beberapa produk makanan. Apakah Depag (Departemen Agama)? padahal depag selama ini bingung masalah Haji, karena sibuk mengurusi dana Umat Abadi, apakah Kyai? wong kyai sekarang ini agak berkurang kredibilitasnya karena sibuk mengurusi urusan yang harusnya tidak mereka urusi (politik dan lainnya). Yang harusnya dicari sekarang ini adalah kyai yang bisa membina jiwa, kalau keberadaannya sudah punah, maka bisa- bisa terjadi kiamat, ha..ha.. ha.. (kelakar Beliau lagi)
Keanehan yang terjadi selama ini banyak sekali terjadi di negara kita, salah satunya bencana Tsunami yang melanda Indonesia. begitu besarnya bencana yang melanda Indonesia secara bertubi-tubi, sampai-sampai ada orang datang kepada saya, menyarankan agar presiden kita di Ruwat aja (ruwat adalah prosesi upacara Jawa dengan maksud meminta keselamatan pada Allah). Aja juga fenomena yang lebih menghebohkan ada seorang kyai, Profesor, ribuan masa pengikutnya malah ditahan kepolisian? ini kan suatu keanehan yang luar biasa dan suatu musibah bagi warga muslim di Indonesia. Permaslahan yang terjadi bukanlah Presiden atau siapa yang perlu di ruwat, akan tetapi harus berani melakukan revolusi yang mampu memperbaiki mental pada bangsa ini.
Ada 32 inventarisasi masalah yang salah kaprah terjadi di Indonesia, menurut analisa pribadi beliau. Salah kaprah yang dimaksud adalah suatu kesalahan menurut ta'rif lughah dan istilahy, akan tetapi dianggap benar menurut orang Indonesia, ini adalah akibat hampir tidak adanya hubungan satu kesatuan antara jiwa dan raga. Tetapi realitas yang terjadi dipisahkan sedemikian rupa, bahkan ditinggalkan persoalan jiwa dan ruh.
Salah satu hal inventarisasi yang dimaksud adalah dibedakannya antara istilah madrasah dengan sekolah, hanya perbedaannya kalau madrasah jika ingin membeli kitab di toko kitab dan sekolah kalau membeli buku di toko buku. jadi tidak ada toko buku yang jual kitab begitu juga sebaliknya.
Keberadaan raport sebagai penunjang pendidikan sudah terlihat sangat memprihatinkan. Pada indeks prestasi siswa begitu diperhatikan betul, nilai yang di berikan disertai dengan bilangan desimal (bilangan berkoma) yang begitu detailnya. Akan tetapi di sisi bawah raport ada catatan tambahan yang melaporkan kelakuan sikap sopan santun, akan tetapi satuan nilai yang diberikan hanya A, B, dan C. Masalahnya indeks prestasi siswa terlalu diperhatikan sedangkan sisi kelakuan (adab), sikap dan sopan santun tidak diberikan nilai yang detail. begitujuga fenomena yang terjadi dipesantren, sama halnya dengan yang terjadi disekolah umum. Padahal orientasi pendidikan sekolah itu adalah lapangan kerja. pertanyaannya apakah raport pesantren itu bisa di gunakan untuk mencari pekerjaan? jadi itu suatu kesalahan yang luar biasa, yang tidak perlu diperjuangkan oleh pesantren. Pesantren harusnya bisa menjaga kurikulumnya untuk menetapkan pendidikan jiwa, ruh, dan badan dalam satu kesatuan. Jadi pesantren tidak perlu berkiblat pada dunia luar yang justru akan mengikis karakteristik pesantren itu sendiri.
Anomali arus pendidikan Indonesia
Realitas dewasa ini banyak orang pintar tapi suka korupsi, hanya dengan bermodal pena dan baju berdasi bisa mengkorupsi uang milyaran rupiah. sedangkan orang yang bodoh untuk mencuri masih harus pakai linggis dan proses hukumannyapun menjadi lama karena dia seorang yang tidak punya sedangkan koruptor sebaliknya. kenapa harus sekolah yang tinggi untuk menjadi maling? ini suatu pertanyaan besar yang haruis di jawab oleh praktisi pendidikan Indonesia. maka dari sini harus ada yang memulai merubah sistem pendidikan yang awalnya hanya mengandalkan daging (kinayah dari tujuan pendidikan nasional yang mengadakan prestasi daripada pembentukan hati nurani). salah satu contoh lembaga yang menerapkan tujuab tersebut adalah pesantren-pesantren, karena pesantren sekarang mulai memberikan karasteristiknya yaitu mendahulukan taallum (pengajaran) daripada tarbiyah (pendidikan ruh).
Malah ada sebagaian orang yang mengusulkan akan adanya anggaran pesantren yang diambil dari APBN, padahal rusaknya pesantren karena diobok-obok oleh pihak luar, kemudian kiainya tidak mau mandiri, mengandalkan bantuan luar yang akibatnya kurikulum pesantren diubah dan akhirnya kiblat salafnya hilang. Amerika sendiri notabene adalah pihak donatur yang siap membantu negara-negara berkembang akan tetapi mereka merubah kurikulum sesuai dengan yang diinginkan Amerika sendiri. maka untuk mengantisipasi masalah anggaran harusnya para wali santri mengetahui apa manfaat syahriah itu bukan sebagai gaji untuk kiainya akan tetapi untuk kemaslahatan santri itu sendiri. karena seorang kiai atau (pemangku pesantren) s sudah sudah payah memberikan ilmunya, kok disana sini masih menuntut gratis. Padahal seorang Ustadz telah mendidik anak didiknya secara dlohiron wa bathinan atau dalam istilah kita murobbi ar-ruhi wal jasad.
Salah satu tauladan beliau yang diadopsi dari ayahnya sendiri (KH Bisri Mustofa), di saat beliau diundang hadir di beberapa tempat untuk hadir muhadloroh, akan tetapi disisi lain harus meninggalkan para santrinya sebagai anak didiknya, itu suatu muskilah yang besar bagi seorang kyai (pemangku pesantren). Akan tetapi apa yang dilakukan beliau menanggapi masalah tersebut. Disaat beliau naik panggung, beliau ingat akan kewajiban mengajar, lantas dalam hati beliau terbesit harapan pada Allah dalam sebuah dialog berikut: "Ya Allah jika dalam acara pengajian ini Engkau berikan pada kami ganjaran (pahala), maka jangan Engkau berikan kepada kami, melainkan gantilah pahala itu kepada santri sebagai futuhal qolb berupa terbukanya hati akan ilmu-ilmu Allah". Jika kemudian doa itu menjadi kenyataan akan kemanfaatan ilmu para santri, maka itulah yang sisi positif pesantren yang kita kenal sebagai Barokatul Ilmi.
Kritik atas Pesantren Berbuah Kemajuan yang semu
Ketika pesantren mencoba memasuki medan baru dalam persaingan dunia pendidikan, instansi ini terkena imbas kemajuan informasi seperti sekarang ini. Satu misal ketika pesantren dikritik habis-habisan oleh praktisi pendidikan formal. Dari sisi kurikulum pesantren tidak memilki batasan yang jelas, tidak memiliki silabus, tidak ada fasilitas belajar yang memadai dan lain-lain. Sehingga dengan adanya kritikan tersebut pesantren mulai berbenah diri dengan menyejajarkan diri dengan dunia pendidikan pada umumnya, begitu juga pandangan masyarakat menjadi berubah, bahwa pesantren telah menjadi tertib, ada ijazah/piagam, rapot, bahkan wisuda santri.Setelah berbenah diri, sepertinya pesantren cenderung meninggalkan karakteristiknya (tarbiyah ruhiyyah) yang tidak dimiliki oleh instansi lain selain pesantren.
Pasalnya sistem pengajaran tanpa diiringi dengan tarbiyah ruh tidak akan menghasilkan buah yang maksimal. Artinya, di satu sisi siswa sebagai anak didik, akan mengalami kemajuan pesat dibidang integensi (kecerdasan, prestasi, ketangkasan), akan tetapi disisi lain (sisi mentalitas kejiwaan) akan mengalami degradasi (kemerosotan) yang luar biasa, akibat dari kelalaian pengajar akan pentingnya sisi mentalitas kejiwaan (ruhiyyah). Contoh konkret banyak pesantren melakukan pengadopsian antara mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum, banyak madrasah-madrasah yang melakukannyya, akan tetapi apakah nantinya menjamin bahwa mereka akan berakhlaq mulia, dalam arti akhlaq quraniy sebagai mana yang mereka hafalkan di kelas-kelas. Padahal kalau kita lihat Rasulullah dahulu mendidik sahabat ruhiyyah dahulu (ketauhidan) baru kemudian jasmaniyah (ibadah, mu'amalah), maka the result of thats teaching, Rasulullah mampu menciptakan generasi terbaik yang pernah dicatat oleh sejarah dunia. Maka kemudian mengapa pesantren sebagai lembaga pendidikan yang Islami malah meninggalkan dualisme unsur pendidikan rasulullah itu?
Seiring dengan proses penyempurnaan kualitas KBM yang terus diusahakan dan dikembangkan oleh beberapa instansi pesantren, seringkali beliau menghimbau agar usaha tersebut tidak sampai mengganti ataupun menghilangkan samasekali karakteristik pesantren yaitu tarbiyah ruh wal jasad. Karena sejak awal kita menghendaki penyempurnaan sistem bukannya penggantian sistem. Contoh kasus yang paling mudah adalah disaat kita membeli televisi, atau komputer, dalamnya pasti kita dapatkan buku panduan lengkap. Korelasinya dalam dunia pendidikan, sisi pengajaran tak ubahnya sebagai buku pengajaran tersebut. Tanpa membacanyapun, kita akan bisa menguasainya karena kita telah terbiasa dalam pemakaiannya (unsur ini yang kemudian disebut dengan unsur empiris/sisi nyata yang abstrak, sedangkan buku panduan itu sebagai unsur normatif yang konkret).
Hubungannya (korelasi) dalam kehidupan keseharian Nabi Muhammad Shallallahu alihi wasallam, bahwa Rasulullah sendiri lebih mendahulukan sisi tarbiyah daripada pengajaran. Malahan sisi pengajaran bisa diabaikan saat itu, karena amaliyah Rasul berperan sebagai bahan pengajaran yang dapat diambil langsung oleh sahabat, makanya unsur pendidikan yang paling berperan saat itu adalah unsur empiris/perilaku Rasul sebagai as-Syari`, dan mampu menjadi sistem yang paling berhasil saat itu, sekarang dan dimasa yang akan datang. Salah satu contoh ringan, Imam Hasan al-Bashri, seorang Tabi'in yang juga seorang mujadid abad pertama, pernah menanyakan kepribadian Rasulullah pada Sayyidah Aisyah Radliallahu 'anha, lantas Sayyidah Aisyah terheran-heran dengan pertanyaan itu kemudian, beliau balik bertanya: "Wahai Imam!, apakah anda tidak membaca al-Quran? Kana khuluquhu al-Quran, Rasulullah adalah al-Quran yang berjalan". Maka hanya dengan mengamati perilaku keseharian beliau Shalallahu alaihi wasallam, mereka yang hidup sezaman dengan Rasulullah mudah meniru sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tuntunan dan ajarannya.
Kemerdekaan Hakiki
Pemangku pesantren harusnya menyadari tidak ada kemajuan suatu lembaga pendidikan kecuali dengan meneruskan estafet Rasulullah, karena memang tidak ada sistem yang digunakan oleh lembaga manapun yang tingkat keberhasilannya bisa mendekati sistem Tarbiyah Rasulullah Shalallahualaihi wassallam. Maka sabda Nabi yang berbunyi: al-Ulama warosatul anbiya', adalah sebagai momentum yang tepat untuk menghidupkan kembali negara kita yang serba terjajah ini. Karena dibalik kemajuan-kemajuan yang dialami oleh bangsa Kita adalah kemajuan yang semu, dalam arti kemajuan fisik/jasmani tidak dibarengi dengan kemajuan ruhiyyah.
Maka pembahasan panjang dari berbagai macam fenomena pendidikan di Indonesia ini, merujuk pada kesimpulan bahwa pesantren adalah tempat paling tepat dalam mengkader umat yang akhlaqnya seperti sahabat, merdeka badannya, keilmuannya, mentalnya, merdeka ruhnya, dan merdeka segala-galanya. Artinya tidak dijajah oleh nafsunya, oleh hartanya, oleh jasadnya, oleh otaknya, karena hakekatnya sahabat adalah golongan yang paling berhasil taraf pendidikan ruhiyyahnya. Dengan ruh sebagai raja dalam tubuh ini maka kemerdekaan yang hakiki adalah puncak keindahan hidup di dunia yang fana ini.
Pesantren dianggap mampu mempelopori adanya aspek tarbiyah ruhiyyah dari pada aspek pengajaran yang selama ini hanya melahirkan generasi umat yang korup, korup jasad dan korup batinnya. Dan kalimat penutup yang paling pas adalah jangan merasa puas dengan apa yang ada selama ini, sistem Negara kita yang demokrasi bukan suatu yang final, karena ternyata Wali Sanga sebelumnya telah menanamkan sistem Negara Islam di tanah Jawa ini, dan ini tidak lain juga sistem yang diadopsi dari generasi sahabat. Akhirnya satu sistem yang harus kita tanamkan dalam diri kita adalah, kita tidak mau dijajah oleh siapa pun kecuali dijajah Allah, yang terlahir dari kalimat la ilaha illallah Muhammadun ar-Rasulullah.
Penulis: Dinnovaj Redaksi Al Bashiroh, sebagaimana dituturkan KH. Mustofa Bisri dalam Haflah Akhirussanah PPSS Nurul Huda Malang, 17 Juli 2005.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar